Rabu, 18 Mei 2011

Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Anak.


Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Anak.
By
Fauzi ’Arasj

1. Asupan Zat Gizi
Secara umum kejadian gizi kurang disebabkan oleh karena tidak cukupnya asupan zat gizi sehari, serta kondisi keluarga yang miskin, kurangnya konsumsi makanan dan defisiensi zat gizi mikro, penyakit infeksi, pola pemberian PASI yang terlalu dini dan perawatan kesehatan anak, BBLR, kemiskinan akibat krisis ekonomi, politik dan sosial. 

2. Diare
Diare akut adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasa (>= 3 kali sehari) dan umumnya berlangsung kurang dari 14 hari.   Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui makanan/minuman yang tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita di tambah dengan beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman dan meningkatkan risiko terjadinya diare antara lain adalah  tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan anak, menggunakan botol susu yang tidak bersih, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan setelah buang air besar serta tidak membuang tinja dengan benar di samping karena kurang gizi.
Diare merupakan salah satu penyebab    utama morbiditas dan mortalitas pada anak selama 2 tahun pertama kehidupan. Prevalensi diare pada balita mencapai 10%, umumnya disebabkan oleh  shigella, Salmonella, Vibrio cholera, clostridium, alergi terhadap makanan,  infeksi retovirus   dan efek penggunaan obat yang menyebabkan terjadinya perubahan pada mikrovili usus sehingga menimbulkan defisiensi enzim laktase sekunder yang di produksi  oleh ujung mikrovili, di ikuti dengan gagalnya pencernaan terhadap laktosa. Infeksi retovirus  yang masuk melalui makanan  merupakan penyebab utama kejadian diare pada bayi dan anak anak di seluruh dunia.
Diare akut terjadi selama 1-2 hari dan akan dapat berhenti dengan sendirinya dengan atau tanpa pengobatan, sedangkan diare kronis bila kejadian diare secara terus menerus  selama lebih dari 2 minggu. Kejadian diare juga dipengaruhi oleh faktor infeksi saluran pencernaan, umur, gizi, lingkungan, susunan makanan.  Rentang frekuensi  diare berkisar antara 3-8 kali dalam 24 jam, dengan rerata lama kejadiannya 3,1 hari,   di sertai bentuk feses yang  lunak dan cair dan sering kali diikuti dengan kejang perut. Diare yang disebabkan oleh infeksi E Coli, berasal  dari sumber air yang kurang bersih Bakteri E Coli, masuk dan berkembang di usus besar dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan diare, akibatnya daya kerja usus jadi berkurang dalam menyerap zat gizi yang di konsumsi, jika di ikuti dengan dehidrasi akan dapat menyebabkan kematian.  Makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap akan menarik air dari dinding usus disertai dengan proses transit di usus yang pendek, mengakibatkan air dari makanan tidak dapat diserap sehingga feces menjadi berair. Bersamaan dengan itu tubuh juga akan kehilangan elektrolit sehingga akan mudah menjadi dehidrasi.

3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyebab utama kematian di bawah usia 5 tahun diberbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Etiologi bakteri penyebabnya antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofilus, borndetela dan korinebackterium, sedangkan virus penyebabnya antara lain golongan miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernafasan adalah organ tubuh semenjak dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Secara  anatomis, ISPA mencakup saluran pernafasan bagian bawah termasuk jaringan paru dan jaringan adneksanya, dengan demikian jaringan paru termasuk saluran pernafasan. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari dan kronis lebih dari 14 hari.

4. Status Ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan individu atau keluarga untuk merealisasikan kebutuhannya, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan  membatasi kesempatan individu atau keluarga untuk memilih makanan dan gizi yang lebih baik. Keluarga dengan pendapatan rendah, membelanjakan pendapatannya secara lebih proporsional untuk makanan di banding dengan keluarga dengan pendapatan tinggi, makin baik pendapatan keluarga akan makin baik kesempatan untuk mendapatkan makanan yang bergizi, dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, keluarga miskin relatif rawan terhadap pangan dan dengan meningkatnya harga bahan makanan telah meningkatkan tingkat kerawanan pangan serta memperburuk tingkat kesejahteraan keluarga.
Studi di Honduras menemukan prevalensi anak pendek lebih tinggi bermakna pada keluarga miskin di banding dengan keluarga kaya. Studi yang dilakukan di Amerika, menemukan anak yang berasal dari keluarga miskin lebih pendek dan lebih kurus daripada anak yang berasal dari keluarga kaya, di samping ditemukan tingginya prevalensi anemia. Kekurangan gizi berhubungan dengan panjang/tinggi badan anak, kebanyakan anak pendek berasal dari keluarga miskin walau dari etnis yang sama, dengan demikian jelas terlihat bahwa status gizi berhubungan dengan pendapatan keluarga/kemiskinan.   Studi yang dilakukan di Etiopia menemukan angka anak pendek dari keluarga sangat miskin lebih tinggi daripada keluarga miskin, sedangkan pada keluarga kaya kejadiannya lebih rendah, anak dari keluarga miskin mempunyai risiko untuk jadi pendek 2 kali lebih tinggi dari anak yang berasal dari keluarga kaya.
Studi yang dilakukan di Brazil menemukan bahwa kondisi ekonomi keluarga di daerah rural tidak berpengaruh secara bermakna dengan data antropometri anak dan kondisi sosial budaya lebih memberi dampak terhadap status gizi daripada keadaan ekonomi, sebaliknya di daerah urban pendapatan merupakan faktor risiko untuk terjadinya gizi kurang. Anak dari keluarga miskin ukuran antropometrinya lebih rendah di banding dengan anak dari keluarga kaya. Anak usia 5-6 tahun yang berasal dari keluarga miskin lebih pendek, lebih ringan dan ukuran lingkar lengan atasnya (LILA) lebih kecil (p<0,05) di bandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga ekonomi menengah dan kaya. 
Kejadian gizi kurang pada keluarga miskin kulit hitam  di Afrika Selatan angkanya lebih tinggi  pada laki-laki daripada wanita. Kemiskinan merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya prevalensi gizi kurang di Sub-Sahara Afrika.  Studi di negara miskin menemukan bahwa status gizi dan kondisi kesehatan yang baik pada saat bayi berhubungan positif dengan tinggi individu waktu dewasa. Pertumbuhan anak usia 6-10 tahun di Kuala Lumpur, menemukan 50% anak stunted dan 30% anak wasted berasal dari keluarga miskin. Tingginya pendapatan keluarga di Kuwait dihubungkan dengan kualitas asupan makanan dan berubahnya pola makan, diantaranya dengan mengkonsumsi minuman ringan, coklat, dan makanan siap saji serta terjadinya peningkatan asupan protein, sehingga mempercepat terjadinya obesitas pada anggota keluarga yang lebih dewasa. Ketidak seimbangan pendapatan akan berpengaruh terhadap kesehatan individu. Kejadian kurang gizi kronis merupakan indikasi terjadinya penurunan tingkat pendapatan.
 
5. Jumlah anggota keluarga
Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah serta tinggal bersama, menyatukan sumberdaya mereka dan makan bersama-sama dalam satu dapur. Namun kenyataannya tidak semua kondisi itu selalu harus ada, karena ada keluarga berbagi tempat tinggal dan sumberdaya dengan kerabat atau orang lain, dan atau karena migrasi semakin menjadi kecenderungan di masyarakat, sehingga jumlah anggota keluarga tidak selalu bertalian dengan kedekatan fisik, tetapi mungkin melalui kebertalian  fungsional. Kondisi ini berkaitan erat dengan  pola konsumsi dan distribusi makanan di dalam keluarga, keputusan mengenai apa yang di konsumsi dan jumlah yang di konsumsi berkaitan dengan banyaknya anggota keluarga yang ada.

6. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki status gizi anak yang gizi kurang adalah dengan memberikan makanan tambahan, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan zat gizi dari yang telah di konsumsi, sehingga asupan zat gizi mencapai batas optimal sesuai umur. Suplemen yang diberikan hendaknya setelah melalui perhitungan yang tepat dan sebaiknya menggunakan bahan lokal, hal ini dimaksudkan agar PMT yang diberikan tidak mendapat penolakan dari subjek.
Penelitian tentang pemberian biskuit tinggi lemak (378 Kkal)  dan biskuit  tinggi karbohidrat (404 Kkal) selama 12 bulan,  pada anak pra sekolah yang pendek di Gambia, menunjukkan bahwa pemberian biskuit tinggi lemak dan tinggi karbohidrat tidak mempunyai dampak terhadap panjang badan atau berat badan. Suplementasi dengan biskuit tinggi lemak hanya memberikan sedikit peningkatan atas deposit lemak. 
Suplementasi penambahan susu pada makanan anak yang kurang gizi yang dilakukan di Alabama, Scotland serta New Guinea,  menunjukkan adanya respon pertumbuhan. Penelitian seri penambahan seng pada anak pendek menunjukkan hasil yang positif, seperti penelitian yang dilakukan di Colorado memperlihatkan terjadinya pertumbuhan anak pendek yang lebih cepat, dan studi yang dilakukan di Ontario menemukan  25% dari anak anak yang diberi seng menunjukkan hasil yang positif terhadap pertumbuhan anak pendek.
Penelitian menggunakan tepung kering LGG 107 CFU/g yang disuplementasikan ke dalam makanan formula selama 3 bulan pada anak sehat umur di atas 3 bulan, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang diberi suplementasi dengan makanan formula yang di tambah dengan LGG, terjadi pertambahan panjang badan dan berat badan secara bermakna pada kelompok perlakuan di banding dengan kelompok kontrol yang hanya menerima makanan formula saja, terdapat perbedaan frekuensi defekasi secara bermakna antara  kelompok perlakuan dan kelompok kontrol serta kolonisasi lactobacillus pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bayi yang diberi makanan formula yang diperkaya dengan LGG mempunyai pertumbuhan yang lebih baik daripada kelompok kontrol.

Kepustakaan:

  1. Laude  M. Assessment of Nutritional Status, Cognitive development and Mother-Child Interaction in Central America Refugee Children.  Am. J. Public Health 1999; 6(3).
  2. Unicef. Malnutrition in South Asia, A Regional Profile. Uniceff Regional Office For South Asia. 1997, 1-9
  3.  Roy S.K. Complementary Feeding in South Asia. In Uniceff. Malnutrition in South Asia, A Regional Profile. Uniceff Regional Office For South Asia, 1997
  4. Departemen Kesehatan RI.  Rencana Aksi Pangan Dan Gizi. Jakarta. 2000
  5. Sulistomo. Diare, penyakit perut pada balita. http://www.sulistomo.com   Unduh 16 agustus 2008
  6. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral PPM dan PL. Keputusan Menkes RI No 1212/Menkes/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta 2002
  7. Syam AF, Arijanti L. Penyebab  Diare Dan Gejala Diare. http://medicastore.com  unduh 16 Agustus 2008
  8. Juntunen M, Kirjavainen PV,  Ouwehand AC, Salminen SJ,  Isolauri E. Adherence of probiotik bacteria to human intestinal mucus in Healthy infants and during rotavirus infection. Clinical and diagnostic laboratory immunology, 2001: 8(2): 293–296
  9. Diarrhea. National Institue of Health. US Department oh Health and Human Services. NIH Publication 2007;07:2749. www.digestive.nddk.nih.gov
  10. Barlianto W. Terapi sinbiotik terhadap Diare akut dengan intolerensi laktosa sekunder. Bagian IKA, FK-Undip. 2005
  11. Irianto J. Prediksi keparahan Diare menurut faktor yang berpengaruh pada anak balita di Indonesia.
  12. Syam AF, Arijanti L. Jangan anggap remeh Diare. http://medicastore.com   unduh 16 agustus 2008
  13. Calgary Health Region. E.Coli 0157:H7, Content review date: juli, 2007.  http://www.calgaryhealthregion.ca/
  14.   Calgary Health Region. Testing for infections diarrhea. content review date: Januari, 2004.  http://www.calgaryhealthregion.ca/
  15.   Rasmalah. Infeksi saluran nafas akut (ISPA) dan penanggulangannya. FKM-USU, 2004
  16. Departemen Kesehatan RI. Pengertian ISPA dan Pneomonia. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan akut untuk Penanggulangan Pneomonia pada balita.  http://www.halalguide.info/content/view/396/734/
  17. The Epidemiologiy of acute respiratory infections in children and adults. A Global perspective. Epidemiol.rev, 1990; 12:149-78. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
  18. Ujang S, Dadang S. Analisis Ketahanan pangan keluarga dan Kesejahtreraan keluarga, dalam Media gizi dan Keluarga. 1998; 22(1): 31-38
  19. Meyers AF; Karp RJ. Poverty, Food Insecurity, and Obesity in Children. 2006;118;2265a-2266 Pediatrics.  http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/118/5/2265a
  20. Maxwell D, Levin C, Klemesu MA, Ruel M, Morris S, Ahiadeke C.  Urban livelihoods and Food and nutrition security In greater accra, Ghana. Research report 112 april 2000. International Food Policy Research Institute 2033 k Street, NW. Washington, DC. 20006-1002. http://www.ifpri.org
  21. Thaha AR. Anak Anak Indonesia, Dari Kemiskinan Struktural Hingga Kemiskinan Herediter Pengukuhan Guru Besar Universitas Hasanudin. 2003
  22. Kotch J, Shackelford J.  The Nutritional Status of Low-income Preschool Children in The United States: a Review of The Literature. Food Research and Action Center, Washington, Juni 1989
  23. Girma W, Timotiows G. Determinants of Nutritional Status of Women and Children in Ethiopia. Ethiopia Health and Nutrition Research Institute, Addis Ababa, Ethiopia. 2002;11
  24. Molina M, Carmen B, Gross R, Bern S, Maria A. Nutritional status of Children of Urban Low-income communities, Brazil. Rev. Saude Publ. S Paulo, 1989;23(2):89-97
  25.  Meyers AF, Diana C, Frank DA, Levenson S, Skalicky A. Subsidized Housing and Children’s Nutritional Status. Arch Pediatr Adolesc Med. 2005;159:551-556
  26. Akhtar MS, Bhatty N, Sattar M, Javed M.  Comparison Of  Nutritional Status In Children Of Different Socio-Economic Statuses. Medical Journal of Islamic Academy of Sciences 14:3, 97-102, 2001
  27. Christie CJ. Consideration of the effect of nutritional status and disease patterns on the work output amongst Black South African workers involved in manual materials handling (MMH) tasks. http://biblioteca.universia.net
  28. Xiao Ye. Findings, African Region. Status Report on Poverty in Sub-Saharan Africa, 1997, Tracking the Incidence and Characteristics of Poverty. World Bank, 1818 H Street NW, Washington, DC. 1998
  29. Akachi Y,  Canning D. Childhood Health, Nutrition, and Average Adult Height in Low-Income Countries. Harvard School of Public Health. Unduh  Agust 2006
  30. 83.  Shariff ZM, Bond JT, Johson NE.  Nutritional Status of Primary School Children from Low Income Households in Kuala Lumpur. Mal J Nutr. 2000;6 : 17-32
  31. 84.  Amine EK,  Al-Awadi FA  Nutritional status survey of preschool children in Kuwait . Eastern Mediterranean Health Journal, 1996; 2(3): 386-395
  32. 85.  Godoy R, Byron E, García VR, Vadez V, Leonard WR, et all. Income inequality and adult nutritional status: Anthropometric evidence from a pre-industrial society in the Bolivian Amazon. Social Science & Medicine. 2005;61: 907-919. Unduh September 2008
  33. 86.  Hakeem R. Socio-economic differences in height and body mass index of children and adults living in urban areas of Karachi, Pakistan.  Eur J Clin Nutr. 2001;55(5):400-6
  34. 87.  Allen LH. Cause Nutrition related Public Health Problem of pre-school children: available diet. JPGN, 43:s8-s12
  35. 88.  Michael HN.  Spesific Deficiencies Versus Growth Failure Type I and Type II Nutrients. Joint Symposium of Nutrition and Dep of Pediatric Fac of medicine, 11 Maret University and Centre of Human Nutrition, Univ Sheffield, UK. Surakarta, Indonesia, 2001
  36. 89.  N. Vendt, H. Grunberg, T. Tuure, O. Malminiemi, E. Wuolijoki, V. Tillmann, E. Sepp and R. Korpela. Growth during the first 6 months of life in infants using formula enriched with Lactobacillus rhamnosus GG: double-blind, randomized trial. J Hum Nutr Dietet, 2006;19: 51–58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar